Minggu, 26 April 2009

karya aldi yunaldi (pudenk),Batu Sangkar 12-01-81. pendidikan SMSR PADANG-STSI PADANGPANJANG. CP : 081374333563























judul..eksekusi
ukuran...140 X 150 cm
bahan...akrilik on kanvas
















judul...UMBRELLA
ukuran...200 X 150 cm
bahan...akrilik on kanvas

Minggu, 22 Maret 2009

Keragaman Bentuk (Catatan Sembilan Pementasan Jurusan Teater STSI Padangpanjang) Oleh: Husin

Andaikata hanya ada satu bentuk, takkan ada keragaman dalam hidup manusia, begitu juga halnya dengan teater. Keragaman itu dapat kita lihat pada senin (02/02) lalu, mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang disibukkan dengan segala aktivitas ujian semester, yang selama satu minggu digunakan untuk ujian tertulis. Selebihnya, terhitung dari senin (09/02) sampai pada batas waktu yang telah ditentukan, rabu (18/02) mahasiswa banyak diuji secara praktek, begitupun dengan mahasiswa Jurusan Teater yang memilih teater sebagai proses belajar memaknai hidup dan mengaktualisasikan diri. Ada dua Gedung Pertunjukan STSI Padangpanjang, dimana setiap orang dapat menyaksikan pementasan Teater. Gedung Pertunjukan Hoeridjah Adam dan Gedung Teater Mursal Esten, waktu pementasan siang dan malam.

Kekuatan Aktor Untuk Mewujudkan Pementasan Realis
Drama atau teater realis lebih menekankan obyektifitas pengamatan, maka yang nampak di atas panggung kemudian sebuah kehidupan yang diusahakan sesuai dengan aslinya. Secara teknis pementasan di atas panggung diusahakan menggambarkan kehidupan semirip mungkin. Pentas dan perlengkapan panggung menggambarkan ruang duduk suatu keluarga, atau ruang kantor dan ruang lain yang paling umum dilihat oleh penonton, maka ruang dan keseluruhan perlengkapan pentas disesuaikan sedekat mungkin dengan bentuk dan gaya zaman itu. Pertunjukan teater semacam ini dikatakan oleh Saini (1991) sebagai model teater realisme konvensional. Jika dilihat dari pemanggungan secara keseluruhan, maka aktorlah yang sangat memiliki peranan penting, karena saat pemanggungan aktor harus mampu memerankan bahkan mengendalikan semua yang ada dipanggung. Cukup beralasan jika akhirnya Saini K.M beranggapan bahwa teater realisme adalah teater tokoh.
Pada kamis - minggu (12/02-15/02) penonton dapat menyaksikan resital pementasan realisme, sederhananya realisme berarti menghadirkan realita yang ada, tanpa harus melakukan distorsi atau melibih-lebihkan apa yang sudah ada. Pada hari pertama, ada Norma, karya Alun Owen, penyadurnya tidak diketahui, sutradara Dewi Sartika yang mengisahkan tentang, perselingkuhan seorang istri yang setiap hari selalu ditinggalkan oleh suaminya. Pinangan, karya pujangga besar Rusia Anton P. Chekov, sutradara Rahma Diana yang oleh sutradara diadaptasi ke konteks Minangkabau. Namun, alur dramatiknya masih sama yang mana seorang pemuda (Ivan) bermaksud ingin meminang seorang gadis (Natalya), entah kenapa pembicaraan sampai pada sebingkal tanah yang tidak tahu pasti siapa pemiliknya, mereka terus bertengkar dan saling mengaku sebagai pemilik tanah. Kemudian ada Suara-suara Mati, karya Mannuen Van Loggem, sutradara Kristian Padmasari, naskah ini memilki sentuhan-sentuhan surealis yang mana di dalam sebuah keluarga telah menyimpan rahasia begitu lama, pada akhirnya terbongkar juga. Juga ada Kisah Cinta di Hari Rabu, karya Anton P. Chekov, sutradara Ilham. Selanjutnya ada Sebelum Bebas, karya Agustina Kusuma Dewi, sutradara Indah Lestari dengan latar sebuah penjara. Nyanyian Angsa, karya Anton P. Chekov, sutradara Susandro, pada penampilan kali ini terlihat keberanian sutradara untuk membangun sett tidak seperti biasanya yang mana pada naskah menerangkan sett dari sisa pementasan, ada kursi yang terbalik, tangga, dan beberapa level. Di sini sutradara mencoba menterjemahnya menjadi lain, ia mendirikan bangunan tua yang sepertinya juga seolah-olah dari sisa pementasan. Cerita masih tetap sama, yang mana ini menceritakan dua orang actor Svietlovdoff yang meratapi nasib karena sudah menginjak masa tua, sehingga kurang memperoleh perhatian lagi dari masyarakat, hanya Ivanitch sang pembisik yang selalu setia menemani dan memberikannya ketenangan. Pementasan drama realis ini ditutup dengan naskah yang sama oleh Kisah Cinta di Hari Rabu, karya Anton P. Chekov, sutradara Danil Martim.
Seperti yang dikatakan oleh Saini K.M, bahwa teater realis adalah adalah teater tokoh. Nah, sangat jelas sekali bahwa keberhasilan pementasan ini sangat ditentukan oleh aktor. Dari keselurahan pementasan teater realis di atas sangat lemah pada keaktoran, aktor tidak memilki pemahaman pada wilayah menganalisa setiap tokoh yang diperankan. Aktor tidak terlihat akrab dengan lawan mainnya, malah menjadi malu-malu bila berdekatan apalagi tuk bersentuhan. Seperti pada pementasan “Norma”, tokoh Norma (Lili) dan Laki-laki (Anggi). Aktor masih menjadi dirinya sendiri, tidak berusaha untuk menjadi (to-be) seperti yang dikatakan oleh Stanislavski.

Multi Karakter Dalam Perwujudan One Man Play
“Do’a yang Mengancam” mendengar judulnya saja, membuat semua orang dihinggapi penuh rasa penasaran, karena ini adalah judul cerpen yang ditulis oleh Jujur Prananto. Terlebih lagi, cerpen Jujur ini pernah di filmkan oleh Hanung Bramantyo selaku sutradara yang mana tokoh utamanya diperankan oleh Aming. Namun oleh Hanung, nama tokoh, latar tempat dan waktu dirubah yang lebih mendekati persoalan urban dan kaum pinggiran kota Jakarta. Untuk kebutuhan pembelajaran mata kuliah pemeranan, Wendy HS selaku dosen pembimbing mengadaptasi cerpen ”Do’a yang Mengancam” karya Jujur Prananto menjadi naskah lakon untuk kebutuhan pemanggungan. Naskah ini diperankan oleh Yuanita Hanafi dengan memakai metode peran multi karakter (banyak karakter tokoh) yang sesuai dengan kebutuhan naskah, istilah ini disebut dengan one man play.
Panggung terasa sunyi dan sangat senyap, terlihat diatas panggung sett tidak begitu maksimal untuk menggambarkar hidup kesederhanaan. Di sana hanya ada kain bergantungan ditengah kiri panggung, dibagian kanan belakang panggung ada level yang juga dipenuhi kain dan keranjang, kemudian dibagian kiri depan ada meja dan setrika. tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara yang getir, memohon ampun dan meminta kemudahan rezeki kepada tuhan, pada akhir doanya ia mencoba mengancam tuhan “Ya Tuhan, bertahun-tahun aku berdoa pada-Mu, memohon agar Kau lepaskan aku dari kemiskinan yang sekian lama menjerat kehidupanku, tapi nyatanya sampai kini aku tetap miskin dan bahkan bertambah miskin, hingga aku menganggap bahwa Engkau tak pernah mendengar doaku, apalagi mengabulkannya. Karena saat ini aku sudah tak punya apa-apa lagi selain badan dan sepasang pakaian yang kukenakan, aku ingin memohon pada-Mu untuk yang terakhir kali. Kalau sampai Matahari terbit esok hari Engkau tak juga mengabulkan doaku, aku mohon ampun pada-Mu untuk yang terakhir pula, sebab setelah itu aku akan meninggalkan-Mu”. Doa Monsera didengar oleh tetangga sebelah, seorang janda yang telah lama ditinggal suaminya, dalam hal ini dialah sang pencerita tentang kegetiran hidup yang dialami oleh Monsera.
Seorang laki-laki, tinggal di pinggiran kota Ampari, ibu kota Negeri Kalyana. Monsera, begitu sebutannya, ia telah berani mengancam tuhan dalam doanya. Barangkali tidak tahan hidup miskin dan memiliki hutang dimana-mana. Monsera pergi meninggalkan rumah kontrakannya, “Suatu saat, saya akan kembali untuk membayar hutang...”, semua orang membiarkan Monsera pergi dan tidak berharap banyak. Di dalam pemgembaraannya, ia terus memohon kepada tuhan, “Apakah tuhan mendengar doaku? Apakah thuan terusik oleh ancamanku? Apakah tuhan... maukah tuhan... bisakah tuhan...”, dalam doanya Monsera tidak melihat ada perubahan dalam hidupnya, ia mulai putus asa dan semakin kesal. Suasana panggung menjadi tegang dan sangat menakutkan, ketakutan ini dibantu oleh lighting dang musik yang menggunakan musik program dengan menggunakan media komputer. Tiba-tiba hujan sangat lebat, petir menggelegar dan menyambar tubuh Monsera. Tubuh Monsera ditemukan oleh Sinaro, seorang saudagar yang menunggangi kuda, kebetulan lewat. Tanpa disadari setelah satu bulan dirawat oleh Keluarga Sinaro, tiba-tiba Monsera memiliki kekuatan supranatural, ia bisa melihat apa yang terjadi pada masa lalu hanya dengan sebuah photo, hal ini dapat dibuktikan dengan telah ditemukannya keluarga Sinaro yang telah lama hilang, padahal Monsera belum pernah ketempat di mana keluarga Sinaro ditemukan. Dengan kekuatan yang dimiliki, banyak orang meminta pertolongan Monsera, namun tidak semuanya bahagia, setelah mengetahui bahwa keluarganya telah meninggal dunia. Kekuatan Monserapun diketahui oleh Pemerintah Salaban, untuk menangkap para penjahat. Monsera menjadi kaya dengan imbalan yang telah dimilikinya.
Ternyata tidak selamanya kekuatan dan kekayaan yang dimiliki Monsera menjadi berkah, semuanya menjadi hancur setelah mengetahui bahwa Monsera ternyata anak haram yang telah dilahirkan oleh seorang pelacur. Monsera kembali memohon kepada tuhan agar kekuatanya dihilangkan, karena ia percaya bahwa kekuatan ini bukan datang dari tuhan, melainkan dari setan. Kemudian ia pergi ketempat di mana dia disambar petir, disana Monsera kembali kena sambar oleh petir. Ternyata dari sambaran itu bukannya kekutan Monsera menjadi hilang, bahkan bertambah dan mampu melihat masa depan. Monsera menjadi bertambah kaya, namun tak merasakan kebahagian dan selalu dihantui oleh ketakutan. Suatu malam dalam mimpinya, ia dicegat oleh sekawanan penjahat yang meminta uang. Monsera tidak membawa uang, lalu pisau menikam tubuhnya, “Tidak..! aku tidak mau mati dengan cara begitu”, Monsera terbangun dan berteriak. Sungguh, kali ini Monsera tak tahu lagi kepada siapa ia harus berdoa dan memohon atau mungkin mengancam. Berlahan-lahan lampu fade-out. Pada penampilan ini, tidak terlihat bahwa aktor (Yuanita Hanafi) kurang maksimal memberdayakan kekuatan perannya, hal ini terlihat tidak jelasnya perubahan-perubahan gestur bahkan karakter tokoh yang dimainkan. Mestinya, itu dapa dilihat dari sang pencerita, Monsera, Sinarao, Datim, Penjahat dan Orang-orang yang jelas terlihat perubahannya, disana hanya sang pencerita ke orang-orang dengan kemampuan membedakan banyak karakter vokal saja. Padahal aktor (Yuanita Hanafi) telah memilih pemeranan pada minat di jurusan teater, dalam hal ini tentulah banyak hal yang harus dilatih.

Perbenturan Agama dan Adat Menuju Estetika Paradoks
Penyutradaraan Kontemporer ini merupakan minat yang paling terakhir, menuju Tugas Akhir mahasiswa. Pada pementasan penutup (18/02), di Teater Arena Mursal Esten, pukul 20.00 WIB terlihat penonton bersabar tuk menyaksikan resital penyutradaraan kontemparer yang berjudul “Melintas Kandung” karya M. Fadli, sutradara yang sekaligus diuji Nolly Media Putra. Barangkali dibutuhkan kecerdasan yang mendalam dari sutradara untuk mengolah bentuk, agar esensi yang ingin disampaikan bisa tertangkap oleh penonton. Begitu pula penonton, sedapatnya memilki ketajaman analisa untuk bisa menangkap apa yang telah dikomunikasikan oleh suatu tontonan. Kecenderungan teater kontemporer secara bentuk kita akan melihat dengan hadirnya simbol-simbol, komposisi, kekuatan tubuh lebih mendominasi, dialog sangat puitis, bangunan plot/alur tidak literer dan sebagainya. Makanya, dibutuhkan ketajaman analisa dari setiap komponen panggung.
Dari penjelasan di atas, kita akan dapat melihat dari “Melintas Kandung” karya M. Fadli, sutrdara Nolly Media Putra. Di dalam panggung terdengar bunyi ombak yang menghantam karang, suara angin berhembus kencang, dan kicau burung yang sesekali melintasi laut. Cahaya tiba fade-in yang terfokus pada empat titik, titik pertama terlihat di kiri belakang panggung, pada level yang terbungkus oleh kain berwarna kuning, merah, dan hitam yang tingginya lebih kurang setengah meter dengan posisi horizontal. Terlihat ada janur pada dua sisi level, kuali lengkap dengan pemasaknya, seorang perempuan (tokoh Ibu) berpakaian Bundo Kanduang berwarna merah perlahan-lahan memutar-mutarkan sendok pada lingkaran kuali, sesekali perempuan itu memukul-mukulkannya, makin lama semakin cepat dan semakin tinggi. Disela itu secara bersamaan cahaya berwarna merah fade-in pada tiga titik, terlihat tiga laki-laki (tokoh Malin) bertelanjang dada mengenakan galembong, mereka berada di dalam bingkai yang berbentuk kotak/peti, berlahan-lahan secara bersamaan mereka bergerak dengan pelan.
Dalam hal ini ada dua pemisahan, antara tokoh perempuan (Ibu) dan tokoh laki-laki (Malin). Namun dalam lakon tersebut ada penokohan yang sama-sama antagonis, jadi tidak ditemukan tokoh protagonis, tidak ada yang menjadi penengah atau memihak. Jakob Sumardjo dalam bukunya “Estetika Paradoks” mengatakan dasar berpikir pola dua adalah bahwa hidup itu pemisahan. Hidup itu persaingan, hidup itu konflik, dan hidup itu adalah perang. “Melintas Kandung” ini bukanlah perperangan antara Ibu dan anak Laki-laki (Malin) yang melawan kepada Ibunya lalu dikutuk menjadi batu.
Perempuan (Ibu) sebagai simbol Adat, kemudian Laki-laki (Malin) simbol Agama. Awalnya, agama dan adat memang suatu pemisahan yang sangat jauh. Jika kita analogikan dalam perkawinan, lelaki tetap lelaki, perempuan tetap perempuan, dan keduanya melebur dalam satu kesatuan yang melahirkan entitas ketiga, yakni anak. Maka kemudian terjadilah peristiwa harmoni, syarat hidup adalah adanya harmoni dari dua entitas yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi. Seperti yang dikatakan Jakob (2006) peristiwa harmoni adalah peristiwa paradoks, tidak ada yang dikalahkan, dan tidak ada yang dimenangkan. Keduanya pemenang, bahkan melahirkan hidup baru.
Sangat disayangkan pada pementasan “Melintas Kandung” tidak memperlihatkan adanya keharmonisan, terlebih lagi pada struktur pementasan tidak terlihat situasi yang menegangkan bahkan konflikpun tidak terbangun antara tokoh Adat dan Agama. Inilah kecenderungan seorang direktor (Sutradara) yang mencoba menggarap pada wilayah kontemporer, selalu melupakan unsur-unsur dramatiknya. Sehingga terlihat pada bagian tengah sampai akhir hanya pengulangan-pengulangan yang membosankan.
Begitu banyak bentuk-bentuk pementasan teater yang bisa dipelajari di Jurusan Teater STSI padangpanjang, sehingga terjadi keragaman bentuk. Tapi bukankan, sebaiknya keragaman itu kita imbangi dengan hasil yang baik pula. Mari kita menjadi orang yang tidak ragu-ragu, untuk terus belajar bahkan meneliti teater itu sendiri. Mari kita berteriak dan menjerit “Aku masih tetap hidup” yang pernah diucapkan oleh Calligula dan terus optimis seperti Hang Tuah yang terus mengatakan “Tak kan Melayu hilang dibumi”.

Husin, adalah pemerhati dan praktisi teater. Kini mengajar di INS Kayu Tanam dan bergabung di Komunitas Lorong.
www.teaterlorong.blogspot.com